Allah swt menyebutkan beberapa kemungkinan kaum
kafir enggan untuk percaya terhadap risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw
(baca: Risalah Alquran). Pertama, mereka berpikir bahwa untuk mengikuti
kajian-kajian yang diadakan Rasul saw, mereka harus menyiapkan upah – yang kelak
menjadi hutang bagi mereka – sebagai balasan atas kerja Rasul saw. Kedua, pengetahuan
mereka terhadap hal-hal yang gaib sehingga mampu menyangkal kenabian Muhammad
saw.
Dalam realitanya, kedua hujjah tersebut
tidak pernah terbukti. Dalam menjalankan misi-Nya, Rasul saw tidak pernah
mengutip upah sepeser pun. Justru beliau harus banyak berkorban baik harta maupun
tenaga demi tegaknya risalah Islam. Pun begitu, Kaum Kafir Quraisy tidak pernah
memiliki informasi tentang hal-hal gaib, sehingga tidak ada satu pun argumen yang
bisa mereka gunakan untuk membantah kenabian Muhammad saw.
***
Namun, pada akhirnya, menurut Al-Maroghi Kaum
Kafir Quraisy tetap enggan untuk mengikuti Rasul saw meskipun telah terbentang
di hadapan mereka bantahan atas kemungkinan alasan atas keraguan mereka
terhadap risalah yang dibawa oleh Alquran.
Fakta bahwa Nabi saw tidak pernah mengutip
sepeserpun ujrah atas misi kenabiannya dan ketidaktahuannya Kafir
Quraisy atas apa yang tertulis di lauhul mahfudz tidak terbantahkan.
Tapi, kebodohan (jahl) dan keras kepala (‘inad) membuat mereka tetap
jauh dari hidayah.
Menurut Buya Hamka kedua ayat ini adalah
pertanyaan ingkar dari Allah swt atas fakta pengingkaran Kafir Quraisy. Tentu,
Allah swt bukan tidak mengetahui hal ini sehingga perlu menanyakannya, akan
tetapi lebih dimaksudkan menohok argumen yang mereka yakini.
***
Ada sejuta alasan untuk kita tidak mempercayai
risalah Islam, tetapi ada berjuta argumen lainnya yang membantahnya, baik dari ayat-ayat qauliyah seperti
termaktub dalam Alquran dan Hadis, maupun ayat-ayat kauniyah yang
terbentang dalam alam semesta ini.
Namun, kebodohan dan sikap keras kepala akan
tetap membuat kita semakin jauh dari pintu hidayah. Na’udzubillah. []
Apakah nikmat yang Allah swt berikan adalah anugrah kemuliaan dari-Nya? Belum tentu. Bisa jadi justru itu adalah bentuk penghinaan-Nya sebagai balasan atas pengingkaran pada syariat-Nya dan pembangkangan terhadap-Nya.
How come?
Kenikmatan jenis ini – yang sejatinya adalah penghinaan atau dalam bahasa Alquran dinamakan istidraj – entah itu berbentuk umur yang panjang, kesehatan yang prima, dan harta yang melimpah adalah bentuk penangguhan Allah swt atas azab yang akan Dia timpakan kepada penerimanya.
Limpahan nikmat tersebut akan membuat mereka terlena dan merasa percaya diri: everything’s fine with their life. Lalu, hal itu membuat mereka tidak perlu merasa bersalah, meskipun telah menjadi bagian terdepan dari mereka yang menentang syariat Allah swt.
Mereka percaya bahwa menyerang syariat-Nya tidak akan berdampak apa-apa, baik itu untuk kehidupan mereka di dunia maupun di akhirat. Buktinya, selama ini mereka baik-baik saja. Mereka tidak salat, misalnya, akan tetapi tetap bisa makan, bahkan melebihi dari apa yang didapat oleh orang-orang yang tunduk pada syariat-Nya.
Seperti yang telah saya ungkapkan di muka, sejatinya nikmat tersebut adalah tipu daya Allah swt terhadap mereka, sehingga mereka tidak sadar bahwa suatu saat nanti, secara perlahan, Allah swt akan menjerumuskan mereka pada jurang kehinaan. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah min zalik.
Seringkali Allah swt mengazab kaum zalim dalam arah yang tidak mereka sadari. Ujug-ujug terjadi bencana. Tanpa tedeng aling timbul resesi ekonomi.
Azab Allah swt sifatnya tidak cash and carry. Tapi seringkali ditangguhkan. Sehingga sangat mungkin ini membuat mereka merasa congkak dan aman dari konsekuensi pengingkaran terhadap kebenaran Alquran.
Lihat saja sekarang. Orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi ini bisa hidup aman. Bahkan mereka mengolok-olok kaum beriman, “Lihatlah kami! Tanpa beriman kepada Tuhan pun, kita bisa hidup dengan aman dan tenteram.”
Namun, kita sebagai manusia beriman percaya bahwa azab Allah swt pastilah adanya. “Kami menangguhkan azab kepada mereka, tapi rencana Kami sangatlah dahsyat,” begitu firman Allah dalam Q.S. Al-Qalam ayat 45.
Ini adalah ancaman keras dari Allah swt kepada orang-orang yang mendustakan Alquran. Memang Allah swt kadang lembut dan demokratis, tapi di lain tempat bisa jadi sangat keras kepada orang-orang yang mengingkari kebenaran Alquran. Tentu kita sebagai umat beriman harus bijak menyikapinya.
Alangkah baiknya peringatan ini, sebelum ditujukan kepada orang lain, diarahkan dulu pada diri kita pribadi, keluarga dan lingkungan di sekitar kita. Apakah kita sudah menjadi orang yang pertama kali mencintai dan mengamalkan Alquran? Apakah keluarga dan lingkungan kita sudah melakukan hal yang sama dengan kita? Saya kira itu lebih baik, dari sekedar menunjuk hidung orang lain dan merasa diri paling benar. Wallahu a’lam. []
SUDAH menjadi mafhum bahwa perjuangan menegakkan risalah Allah swt di muka bumi akan disertai jalan terjal berupa cemoohan, olok-olok bahkan ancaman pembunuhan.
Apalagi konteks sekarang, ketika ras manusia berada pada puncak kemajuannya, akan sangat sulit bagi mereka untuk menerima kebenaran yang berasal dari Tuhan yang termaktub dalam kitab suci yang dibawa oleh Nabi saw.
Saat ini pertentangan ideologi dan nilai-nilai semakin keras di saat tumbuh subur isme-isme hasil dialektika manusia dengan alam pikirannya dan realitas sosial. Paham-paham yang mengingkari eksistensi Tuhan dan menolak syariat-Nya semakin beragam dan berevolusi menjadi sebuah gerakan kesadaran terutama dukungan terhadap humanisme dan penyelidikan ilmiah.
Orang model Richard Dawkins tidak hanya mendeklarasikan diri sebagai seorang ateis, akan tetapi juga menjadi ‘nabi’ bagi orang-orang yang menolak eksistensi Tuhan. Selayaknya nabi pada umumnya, dia membuat sebuah gerakan masif untuk memengaruhi masyarakat tentang betapa pentingnya penyelidikan ilmiah dan bahaya ‘tahayul’ agama dalam gerakan ini.
Usaha yang dilakukan Dawkins yang didukung oleh para pesohor dunia maupun lokal akan terus berbenturan dengan para agamawan yang menjalankan misi mereka untuk melanjutkan perjuangan para nabi dalam menyebarkan risalah Tuhan.
‘Perang’ ini tidak hanya terjadi dalam ruang fisik, akan tetapi muncul juga dalam ruang non-fisik (maya) yaitu perseteruan di media sosial, bahkan dalam eskalasinya dalam titik tertentu melebihi dunia nyata.
Maka wajar apabila muncul olokan dari mereka kepada kaum agamawan dan manusia beragama lainnya sebagai kaum delusional yang tertipu sihir kitab suci, seperti halnya Nabi Muhammad saw dicap sebagai orang gila oleh pembesar Kafir Quraisy.
Dalam merespon serangan terhadap misi Nabi saw dan para penerusnya, Allah swt menegaskan kepada mereka untuk tidak terlalu memikirkannya. Apapun cobaan yang mereka hadapi, dakwah harus terus berjalan. The show must go on. Kita tidak boleh selangkah pun mundur dari perjuangan ini.
Allah swt menyuruh kita untuk mengambil pelajaran dari pertaubatan Nabi Yunus as yang meninggalkan misi perjuangan hanya karena mendapatkan resistensi dari kaumnya. Untungnya, beliau menyadari kesalahannya dan diangkat derajatnya oleh Allah swt sebagai orang-orang yang salih dalam barisan para nabi dan rasul.
Adapun perhitungan bagi mereka yang konsisten menentang misi ini, kita kembalikan kepada Allah swt. Dia swt berjanji bahwa mereka akan setahap demi setahap menerima balasan dari-Nya dari arah yang mereka tidak ketahui. Kalaupun tidak sekarang, suatu saat nanti, mereka akan menerima konsekuensinya. Kalau tidak dunia, tentu mereka tidak akan mengelak dari siksa Allah di akhirat kelak.
Tentang hinaan dan olokan kaum sekuler yang tidak suka Islam menyebar di muka bumi, kita harus menahan diri. Jangan itu membuat kita kalap, sehingga kita membalasnya dengan serupa olokan yang jauh dari akhlak Islam. Atau menjadi merasa letih dan memutuskan untuk berhenti dalam berjuang. Kita kembalikan semuanya kepada Allah swt. Wallahu a’lam. []
Dalam ayat ini Allah swt
menegaskan bahwa balasan setimpal bagi orang-orang yang bertakwa selama hidup
di dunia adalah surga yang dipenuhi kenikmatan.
Menurut Prof. Wahbah Zuhaili, kenikmatan yang akan didapat oleh para
muttaqin di akhirat kelak wujudnya tidaklah sama dengan apa yang mereka
temukan di dunia. Jika
nikmat duniawi seringkali dinodai hal-hal yang kotor seperti hawa nafsu, nikmat
ukhrowi tidaklah seperti itu. Dia berwujud murni dan hakiki, tak terkotori
apapun.
Jadi, jangan anda bayangkan bahwa bidadari-bidadari cantik di surga sama seperti
perempuan-perempuan binal nan seksi di dunia. Tidak sama sekali! Apa yang
terjadi di akhirat termasuk kenikmatan yang disediakan tidaklah pernah terlihat
oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terlintas dalam hati manusia di dunia
saat ini.
Lalu siapakah muttaqin itu? Nasafi dalam Madarikut
Tanzil menegaskan bahwa muttaqin adalah mereka yang menjauhi
kesyirikan selama hidup di dunia. Mereka beriman sepenuhnya kepada Allah swt dan Nabi saw yang membawa
risalah-Nya.
Dalam Alquran kata takwa diulang sebanyak 259
kali dengan segala derivasinya. Di antara sekian karakteristik orang-orang yang
bertakwa seperti yang dijelaskan oleh Alquran
antara lain: beriman kepada yang gaib, mendirikan salat dan berinfak; beriman
kepada kitab-kitab Allah dan meyakini adanya akhirat; beriman kepada Allah swt,
hari akhir, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, memerdekakan budak, mendirikan
salat, zakat, menepati janji dan sabar; berpuasa di bulan Ramadan; tidak silau
dengan keindahan duniawi; selalu berbuat kebajikan, bersegera kepada ampunan Allah swt; selalu mengingat Allah swt dan memohon
ampunan atas dosa-dosanya; bersabar saat diuji harta dan dirinya; menjadikan
akhirat sebagai tujuan hidup; dan menyebarkan
dakwah.
Selanjutnya, orang yang bertakwa senantiasa menutup aurat; berzikir
manakala ditimpa kebimbangan; menyuruh keluarga mendirikan salat dan bersabar
mengerjakannya; tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan; menjaga pandangan
mata dan kata-kata dalam berbicara; membawa kebenaran dan membenarkannya;
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji; dan selalu mengambil pelajaran
dari Alquran.
Ayat 35-41: Balasan yang berbeda bagi orang yang
bertakwa dan bermaksiat dan argumen-argumennya
Muqotil seperti yang dikutip oleh Fakhruddin Ar-Razi menerangkan
bahwa ayat ini adalah respon ketika ada sebagian pembesar kafir Quraisy
menghadap Nabi Muhammad saw dan berkata, “Di dunia Allah swt memberikan
keutaman lebih tinggi kepada kami (kafir Quraisy) daripada umat Islam. Tentu,
di akhirat kami akan mendapatkan posisi yang sama. Kalaupun tidak, minimal sama
dengan apa yang kami dapatkan di dunia.”
Allah swt membantah pernyataan pembesar Quraisy tersebut dengan memberikan
bantahan-bantahan dalam ayat-ayat selanjutnya, baik berdasarkan naqli (nas)
maupun secara logika. Bantahan ini setidaknya membuat mereka berpikir atas
batilnya pendapat mereka.
Pertama, Allah swt mengajukan pertanyaan ingkar yang bertujuan untuk menegasikan
pendapat ngawur para pembesar kaum Quraisy dengan bersabda, “Maka apakah patut
Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa
(orang kafir)?
Setelah itu, Alquran memberikan logical reasoning, yaitu sebuah
pertanyaan tentang landasan rasional yang mendukung pernyataan bahwa kaum kafir
sama-sama akan mendapatkan fadilah dari Allah swt dengan kaum yang
bertakwa di akhirat kelak, sedangkan kita tahu bahwa keimanan kepada-Nya adalah
sebuah kebenaran dan sebaliknya kesyirikan adalah sebuah kebatilan.
Secara logic, pandangan ini tentu tidak dapat diterima. Dalam nalar
akal sehat kita akan mafhum bahwa kemuliaan hanya akan didapat bagi
orang-orang yang melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya.
Selanjutnya, Allah swt memberikan argumen naqli untuk membantah
pernyataan kafir Quraisy ini dengan bersabda, “Atau adakah kamu mempunyai
sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya? Bahwa di dalamnya
kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu.”
Allah swt menanyakan apakah mereka memiliki kitab suci sendiri – yang
mereka pelajari dan praktikan – sehingga mereka bisa berhukum semau gue, termasuk
dengan ‘fatwa’ bahwa mereka akan mendapatkan keutumaan di akhirat kelak,
meskipun tidak mengikuti syariat yang telah ditetapkan oleh Allah swt.
Tentu yang menjadi landasan mereka tidak lain adalah asumsi dan hawa nafsu.
Dalam hal ketaatan kepada Allah swt, misalnya, ketika mereka diajak kepada
agama dan syariat Allah, kepada hal-hal yang Allah wajibkan dan meninggalkan
hal-hal yang Allah haramkan, mereka menolak, dengan alasan cukup bagi mereka
untuk menempuh apa yang telah dilaksanakan oleh nenek moyang mereka. Padahal
Allah menegaskan dalam Alquran bahwa nenek moyang mereka tidak mengetahui
apapun dan tidak mendapatkan petunjuk. Itu artinya, kaum kafir tidak memiliki
landasan yang kuat dalam menjalankan syariat agama mereka.
Argumen selanjutnya yang dilontarkan Alquran untuk membantah pendapat kafir
Quraisy adalah pertanyaan ingkar berupa perjanjian dengan Allah yang diikat
dengan sumpah dan berlaku sampai hari kiamat yang membuat mereka sangat yakin
akan pendapat mereka sehingga tidak mau menerima risalah dari Nabi Muhammad
saw. Hal ini untuk menunjukan ‘ketakjuban’ Allah swt akan betapa keukeuh-nya
mereka dengan pendapat yang mereka yakini, padahal beberapa argumen baik itu
secara naqli maupun aqli tidak mendukung.
Terakhir, Allah swt menantang mereka untuk mendatangkan orang yang bisa
menjamin kebenaran pendapat mereka, entah itu nabi, pembesar, ataupun ilmuwan
dari kalangan mereka. Nyatanya mereka tidak memilikinya.
Menurut Nasafi, dari sini lengkaplah sudah bahwa kaum kafir Quraisy
tidak memiliki kitab suci, sumpah yang diperkuat dengan janji Allah, dan teman
yang bisa mengafirmasi pendapat batil mereka bahwasanya mereka akan hidup
dengan nyaman di akhirat kelak, seperti halnya mereka dapatkan selama hidup di
dunia.
Ayat 42-43: Orang kafir tidak mampu bersujud di
akhirat kelak karena terbiasa dengan kekufuran selama hidup di dunia
Sudah menjadi pola dalam Alquran, bahwasanya setelah Allah menyeru untuk
beriman dengan menghadirkan beberapa argumennya, Dia swt akan menjelaskan
konsekuensi dari pilihan respon terhadap seruan tersebut. Manusia diberi
kebebasan untuk memilih, akan tetapi diberikan juga gambaran konsekuensi atas
pilihan tersebut.
Di penghujung penggalan Q.S. Al-Qalam ini, Allah swt menggambarkan keadaan
kaum kafir yang akan menemui banyak kesulitan di akhirat kelak. Ketika tersibak
dalam pandangan mereka pedihnya siksa neraka, mereka diminta untuk bersujud
mengakui kesalahan pendapat mereka selama hidup di dunia. Mereka ingin bersujud
karena takut akan siksaan yang akan mereka dapatkan, akan tetapi mereka tidak mampu
melakukannya karena sudah terbiasa dengan kekufuran.
Menurut Fakhruddin Ar-Razi perintah bersujud ini bukanlah bentuk taklif,
kewajiban yang harus ditaati, akan tetapi lebih pada penghinaan kepada
mereka karena semasa hidup di dunia tidak mau untuk taat atas perintah Allah swt.
Orang-orang kafir akan merasa menyesal karena mereka tidak mau bersujud
(taat) atas perntah Tuhan selama hidup di dunia, padahal waktu itu mereka hidup
dengan sejahtera tidak terhalang sesuatu apapun. Maka penyesalan tidaklah guna.
Yang tersisa adalah kehinaan dan keterpurukan karena sisa hidup mereka di
akhirat akan dipenuhi penderitaan yang tidak berujung. Wallahu a’lam. []
Sumber kitab:
Mafatih al-Ghayb, Muhammad ibn Umar Fakhr al-Din
al-Razi.
Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Imam Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
Madarikut Tanzil Wa Haqo’iqut Ta’wil, Imam Abul
Barokat Abdulloh bin Ahmad bin Mahmud An-Nasafi.
DALAM sebuah video wawancara yang
dilakukan oleh salah satu Vlogger berkebangsaan Indonesia yang sedang studi di
Jerman memperlihatkan kepercayaan salah seorang penganut Protestan yang berpendapat
bahwa mereka akan baik-baik saja di akhirat meskipun selama di dunia tidak
pernah mau melaksanakan titah Tuhan Yang Maha Kuasa yang termaktub dalam kitab
suci dan hadis Rasul.
Mereka melihat bahwa kenyamanan
hidup di dunia menjadi jaminan bahwa mereka juga akan hidup bahagia di akhirat
kelak. Mereka tak percaya dengan pedihnya siksa neraka seperti yang jamak
terdengar di telinga kita.
Ternyata kejadian ini juga pernah
terjadi di zaman Rasul saw, di mana kaum Pagan Arab merasa yakin bahwasanya
mereka akan mengecap nikmatnya surga seperti halnya mereka bisa menikmati
kehidupan di dunia.
Mereka berkeyakinan tidak ada
yang perlu dikhawatirkan tentang kehidupan akhirat. Selama ini, mereka mampu
untuk hidup nyaman di dunia. Hal itu akan menjadi jaminan bahwasanya mereka
akan hidup bahagia di akhirat, tanpa perlu mengikuti risalah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw.
Namun, pendapat tersebut dibantah
oleh Allah swt melalui Q.S. Al-Qalam (68: 34-43).
Allah swt bersabda bahwasanya
nikmat surga adalah eksklusif bagi orang-orang yang bertakwa, “Sesungguhnya
bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan
di sisi Tuhannya.” (Q.S. 68: 34)
Dia swt juga menyangkal bahwasanya derajat umat Islam sama dengan orang-orang yang selalu berbuat dosa, “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (Q.S. 68: 35)
Lalu Allah swt menantang pijakan
kaum kafir yang menganggap bahwa mereka akan baik-bak saja di akhirat kelak,
“Atau adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya? Bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? Tanyakanlah kepada mereka: “Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?” Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka adalah orang-orang yang benar.” (Q.S. 68: 36 – 41).
Terakhir, Allah swt memastikan
bahwa orang kafir akan mendapatkan kehinaan di akhirat kelak,
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera..” (Q.S. 68: 42 – 43)
Semoga Allah swt membimbing kita
pada jalan keselamatan. Aamiin. []