Dakwah dan hidayah adalah dua hal yang berbeda (Google Images).
BANYAK pendakwah, pendidik dan orang-orang yang menyerukan kebenaran tidak memiliki cukup kesabaran untuk menerima kegagalan dalam perjuangan. Mereka enggan menerima realitas bahwa hasil jerih payah yang telah mereka lakukan tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
Ketika para pendakwah melihat masyarakat tetap berkubang dalam tradisi syirik, padahal mereka telah berbusa-busa memperingatkan tentang hal halal dan haram, banyak yang putus asa terus keluar sumpah serapah yang tidak pantas.
DALAM sebuah video wawancara yang
dilakukan oleh salah satu Vlogger berkebangsaan Indonesia yang sedang studi di
Jerman memperlihatkan kepercayaan salah seorang penganut Protestan yang berpendapat
bahwa mereka akan baik-baik saja di akhirat meskipun selama di dunia tidak
pernah mau melaksanakan titah Tuhan Yang Maha Kuasa yang termaktub dalam kitab
suci dan hadis Rasul.
Mereka melihat bahwa kenyamanan
hidup di dunia menjadi jaminan bahwa mereka juga akan hidup bahagia di akhirat
kelak. Mereka tak percaya dengan pedihnya siksa neraka seperti yang jamak
terdengar di telinga kita.
Ternyata kejadian ini juga pernah
terjadi di zaman Rasul saw, di mana kaum Pagan Arab merasa yakin bahwasanya
mereka akan mengecap nikmatnya surga seperti halnya mereka bisa menikmati
kehidupan di dunia.
Mereka berkeyakinan tidak ada
yang perlu dikhawatirkan tentang kehidupan akhirat. Selama ini, mereka mampu
untuk hidup nyaman di dunia. Hal itu akan menjadi jaminan bahwasanya mereka
akan hidup bahagia di akhirat, tanpa perlu mengikuti risalah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw.
Namun, pendapat tersebut dibantah
oleh Allah swt melalui Q.S. Al-Qalam (68: 34-43).
Allah swt bersabda bahwasanya
nikmat surga adalah eksklusif bagi orang-orang yang bertakwa, “Sesungguhnya
bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan
di sisi Tuhannya.” (Q.S. 68: 34)
Dia swt juga menyangkal bahwasanya derajat umat Islam sama dengan orang-orang yang selalu berbuat dosa, “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (Q.S. 68: 35)
Lalu Allah swt menantang pijakan
kaum kafir yang menganggap bahwa mereka akan baik-bak saja di akhirat kelak,
“Atau adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya? Bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? Tanyakanlah kepada mereka: “Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?” Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka adalah orang-orang yang benar.” (Q.S. 68: 36 – 41).
Terakhir, Allah swt memastikan
bahwa orang kafir akan mendapatkan kehinaan di akhirat kelak,
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera..” (Q.S. 68: 42 – 43)
Semoga Allah swt membimbing kita
pada jalan keselamatan. Aamiin. []
Sejarah akan selalu berulang. Dalam satu fragmen sejarah, akan ada kaum kloningan Fir’aun dan Tsamud yang muncul dalam bentuk baru, tapi dengan sikap yang tidak jauh berbeda. Mereka terbuai dengan apa yang dimiliki, sehingga mengingkari akan keberadaan dan kekuasaan Allah. Sikap kekufurannya ini akan semakin bertambah, ketika ada orang yang menyerukan mereka kepada jalan Tuhan. Tak cukup di situ, mereka juga mengajak orang lain untuk sama-sama ingkar kepada-Nya. Bahkan kalau perlu, cara-cara kekerasan digunakan untuk memaksa orang lain mengikuti sikap kekufurannya. (Q.S. Al-Buruuj, 85: 17-20).
Mana yang lebih penting, tauhid atau amalan? Yang pertama tentu tauhid terlebih dahulu. Tapi itu saja tidak cukup. Tauhid yang baik adalah terkejawantahkan dalam keyakinan, lisan dan perbuatan. Orang yang bartauhid baik, maka akan memiliki amalan yang baik. Untuk itu, sebagian ulama berpendapat bahwa akhlak yang baik merupakan refleksi dari tauhid yang baik.
Lalu apa yang harus kita lakukan ketika ada dua pilihan pemimpin; yang satu seorang Muslim, tapi zalim; kedua seorang non-Muslim tapi adil? Dalam pandangan saya, kedua-duanya tidak cocok untuk dipilih. Ada yang salah dalam keimanan Muslim yang zalim, begitu juga dengan Non-Muslim yang adil. Tapi ketika ketika dituntut untuk memilih, mungkin, kita bisa melihatnya dalam perspektif mana yang akan memberikan madharat lebih sedikit. Wallahu a’lam.
Ketika seseorang memutuskan untuk bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka dia harus berkomitmen untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupannya. Salah satu makna syahadatain adalah tunduk terhadap aturan yang telah ditetapkan Allah yang terkejawantahkan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Saya yakin komitmen ini tidak bermakna sekuler, yakni memasungnya pada ruang-ruang privat setiap individu. Akan tetapi kita menjadikannya sebagai landasan dalam pembangunan tatanan sebuah masyarakat.
Tahun 2006 silam, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa faham-faham modern seperti Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme sesat dan haram. Mereka berkeyakinan bahwa faham-faham tersebut sangat bertentangan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Sekulerisme misalnya, mencoba mengkerdilkan ajaran Islam pada ruang privat manusia dan tidak berhak masuk ke dalam ruang publik seperti politik, pendidikan atau ekonomi. Contoh yang lain pluralisme, meyakini bahwa semua agama itu benar, baik itu Kristen, Budha, Hindu, Islam bahkan kejawen sekalipun, karena mereka yakin perbedaaan hanya terjadi pada level eksotresimenya saja, sedangkan pada hakikatnya sama yaitu menuhankan Tuhan. Fatwa MUI ini lahir sebagai respon atas merebaknya faham Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme (Sepilis) pasca dideklarasikannya Jaringan Islam Liberal yang secara masif menyebarkan ajaran ini di Indonesia.
Baru-baru ini dalam ceramahnya di Cedars-Sinai Medical Center, Los Angeles, Stephen Hawking, ilmuwan kenamaan asal Inggris, mengatakan bahwa setelah kematian tidak akan ada kehidupan. Manusia tidak akan menemukan apa yang orang beragama katakan ‘surga’ atau ‘neraka’. Dia menganalogikan manusia yang meninggal bak komputer yang mengalami korsleting karena beberapa kabelnya putus. Tidak ada ‘balasan’ atau ‘hukuman’ atas apa yang manusia kerjakan di dunia.
Lebih jauh lagi dia memaparkan bahwa bumi ini tidak ada awalnya, dan juga tidak ada akhirnya. Dia juga menasehati kalau misalnya manusia mau tetap survive, tidak punah seperti beberapa spesies hewan dan tumbuhan, maka mereka harus mencari tempat berlindung di luar bumi. Manusia harus bermigrasi ke planet lain. Jika hal ini gagal, punahlah manusia selayaknya dinasaurus.
Hari-hari ini kita semakin antipati dengan kata “kafir”, seakan-akan nalar kita tidak bisa menentukan mana orang kafir, mana orang Muslim. Literatur Islam kontemporer “mengharamkan” kita untuk mencap kafir orang-orang yang memang dalam al-Quran jelas-jelas disebut kafir. Anda mungkin pernah menemukan statement dari seorang ‘ulama’ liberal yang mengatakan bahwa orang Budha, orang hindu, orang Nashrani, orang Yahudi, orang Majusi, orang ateis, orang Zoroaster bukanlah seorang kafir karena mereka hakikatnya menyembah tuhan yang sama. Faham ini kalau saya tidak salah dinamakan faham perenialisme dimana penggiat utamanya di Indonesia adalah senior saya di Gontor, Bapak Nurcholis Majid.