SALAH satu sifat kesempurnaan manusia adalah keinginan untuk beriman kepada Zat Maha Tinggi yang memiliki kuasa atas semua makhluk di alam semesta. Sikap ini bukan menunjukan kehinaan ras manusia, akan tetapi merefleksikan adab agung, yaitu penghormatan kepada Zat yang telah menjadi sebab atas wujudnya manusia di muka bumi.
Ketika umat manusia enggan melakukan pengakuan ini, sejatinya mereka telah bersikap pengecut dan melanggar fair play. Bak permainan sepak bola, orang model ini adalah representasi dari pemain yang mau menang sendiri, enggan tunduk pada peraturan yang telah ditetapkan oleh regulator game. Padahal mafhum, dalam sebuah permainan ada seorang wasit yang menuntun jalannya permainan, ada seperangkat peraturan yang menertibkan para pemain, dan ada juga instruksi para pelatih yang sangat paham dengan seluk beluk strategi permainan.
Seorang pemain yang baik tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan bermain sembrono; tidak mengindahkan wasit dan aturan permainan, dan enggan untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh pelatih. Bisa jadi dia memang pemain yang berbakat, gocekannya tidak ada yang mampu menahannya, tendangannya cepat bak peluru, dan kekuatannya tidak ada yang bisa menandinginya; akan tetapi dia tetap tidak akan dihormati dengan sikapnya yang egois dan mau menang sendiri.
Begitu juga manusia, ketika dia enggan beriman kepada Sang Pencipta dan mematuhi semua aturan yang telah ditetapkan, maka sejatinya dia telah menanggalkan kesempurnaannya dan memilih untuk melangkah di jalan hina dina. []